Senioritas apalagi lama bekerja bukan lagi jaminan bagi seseorang untuk dikatakan profesional. Saat ini para pekerja berada pada era gig economy. Menurut Murti Arli Lingga dalam tulisannya di Kompas (2019) bertajuk “Milenial dan Gig Economy di Era 4.0”, gig economy merupakan kondisi ekonomi yang bergantung pada kontrak kerja sementara. Di era gig economy ini, senioritas dan lama kerja sudah digeser oleh kecakapan dalam bekerja. Usia kerja memang menunjukkan pengalaman tapi belum tentu kecakapan. Teknologi informasi yang merambah ke berbagai sektor industri membuat banyak senior yang terlindas kemampuannya apabila tidak mau memperbaharui kemampuannya.
Kemunculan generasi Y, Z, dan A pada sektor-sektor industri memberikan dampak yang signifikan. Keterampilan mereka dalam menguasai teknologi informasi serta kemampuan berbahasa asing yang rata-rata lebih dari satu bahasa membuat generasi ini memiliki nilai lebih dibanding generasi sebelumnya yang enggan untuk belajar.
Meskipun demikian, generasi baru ini memiliki permasalahan baru yang jarang ditemui pada generasi sebelumnya. Permasalahan tersebut adalah durasi kerja. Ketahanan bekerja generasi Y,Z, apalagi A rata-rata hanya seumur jagung saja. Keinginan untuk menjadi senior dan bekerja lebih lama di perusahaan rata-rata mudah pupus apabila mereka merasa bisa mengerjakan seluruh tantangan yang diberikan perusahaan tersebut.
Fakta di lapangan dan yang sering kali terjadi di sekitar kita adalah tidak jarang kita menemui anak muda yang berpindah-pindah pekerjaan setelah satu dua tahun bekerja di suatu lembaga. Mereka bukanlah dipecat atau diberhentikan melainkan memilih untuk mundur dengan sendirinya karena ingin meningkatkan kualitas kerjanya. Bahkan tidak jarang yang keluar dari perusahaan besar kemudian beralih profesi menjadi travel bloger, atau conten creator.
Munculnya beragam lapangan kerja baru yang tidak ada dalam lapangan kerja sebelumnya termasuk salah satu alasan seseorang untuk memilih berada pada era gig economy. Lapangan pekerjaan yang begitu melimpahruah dan dapat diciptakan sendiri membuat generasi muda mau untuk melakukan usaha rintisan baru. Pola seperti bakar uang hingga pekerja paruh waktu lebih dipilih daripada kerja kantoran yang hanya duduk dari jam sembilan pagi menuju jam lima sore.
Cita-cita pun mengalami pergeseran. Dokter, insinyur, dan pegawai pemerintah nyatanya bukan lagi pilihan utama. Akses internet dan keterjangkauan telepon genggam membuat anak-anak mampu mengerjakan sesuatu sesuai dengan hasratnya. Kebanggaan akan muncul apabila pekerjaan tersebut diapresiasi atau dibayar. Pergeseran pola kerja dari otot menjadi otak semakin lama semakin nyata terjadi.
Para Pemodal
Bagi para pemodal dan pemilik lapangan kerja, maka ada tantangan baru untuk membuat para pekerja yang tergolong mahir (expert) ini untuk mau bertahan dalam perusahaanya. Jenjang karir dan jabatan saja bukanlah stimulus utama yang membuat mereka tetap bertahan. Rektor Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Kuncoro Fu mengatakan bahwa lapangan kerja seharusnya merupakan rumah bagi para pekerja untuk bisa hidup dan berkembang. Apabila rumah itu tidak bisa membuatnya berkembang maka bisa jadi pekerja tersebut memerlukan rumah yang lain apabila ingin berkembang.
Hal ini sangat masuk akal terlebih jika dikaitkan dengan perumpamaan bahwa burung yang mahir terbang di udara tentu tidak cocok jika disangkarkan di dasar laut. Begitu pula dengan ikan yang mahir berenang tentu tidak cocok apabila berumah di atas pohon.
Hasrat dan kemampuan menjadi tolok ukur bagi perusahaan atau pemilik modal untuk merekrut seseorang. Lapangan pekerjaan di era digital ini harusnya tak hanya menjadikan kemampuan sebagai satu-satunya tolok ukur melainkan juga hasrat. Percuma merekrut pegawai yang memiliki kemampuan tinggi tapi di sisi lain tidak berhasrat dalam bekerja. Kemampuan itu beragam, bergantung pada kebutuhan. Perusahaan atau pemilik modal yang bajik adalah pemilik modal yang mau mengatakan secara jujur sejak awal kondisi dan kebutuhan perusahaanya. Jangan sampai mereka mendapatkan pekerja seperti kucing dalam karung. Demikian pula dengan para pekerja atau pencari kerja, ketahuilah secara komprehensif tempat kerja yang hendak dituju. Apabila tidak menemukan, lebih baik berjejaring dan menciptakan lapangan kerja sendiri atau berkarya sendiri. Tulisan akan menemukan pembacanya demikian pula dengan karya akan menemukan konsumenya. Tetap terus luwes dan senantiasa mengembangkan bakat minat di era gig economy.
(oleh Ardi Wina Saputra, Dosen Universitas katolik Widya Mandala)