Pada era digital, belajar bukan hanya sekedar mengubah dari yang tidak bisa menjadi bisa melainkan dari yang tidak mau menjadi mau. Pergeseran paradigma tersebut dikarenakan sumber belajar sangat mudah diakses melalui gawai dan jejaring internet. Masifnya sumber belajar membuat peserta didik tidak hanya menjadikan guru sebagai sumber primer dan perpustakaan tidak hanya sebagai satu-satunya sumber sekunder. Pekerjaan rumah besar-besaran bagi para pendidik adalah mentransformasi peran guru dari pendidik menjadi pendamping belajar.
Saat ini, kecepatan internet dan akses terhadap informasi serta data semakin mudah. Peserta didik dengan mudah menentukan jenis informasi sekaligus data yang dia terima. Mereka dengan mudahnya menentukan literatur yang ingin atau tidak ingin dikonsumsi. Semua berdasarkan keinginan. Indikator yang digunakan pun bergeser. Kualitas literatur dulu ditentukan oleh lembaga-lembaga pendidikan mulai dari kementrian yang menangani hingga sekolah. Namun kualitas literatur saat ini yang dikonsumsi siswa berdasarkan agen-agen populisme.
Jumlah konten yang disukai, yang diikuti, hingga yang memperoleh subscribe merupakan indikator baru literasi yang dikonsumsi oleh pembelajar. Andrew Lloyd, penulis di portal daring Vice.com pernah melakukan eksperimen sederhana dalam tulisannya berjudul Aku Berlagak Jadi Penyair di Instagram (2019). Eksperimen yang dilakukannya adalah membuat akun instagram dan menuliskan puisi puisi sederhana seperti kutipan yang bahkan tidak puitis. Kutipan tersebut diberikan ilustrasi dan diunggah secara berkala. Hasilnya sungguh mencengangkan, akun yang dibuat oleh Andrew memiliki banyak pengikut dalam waktu beberapa hari saja. Masyarakat yang mengikuti akun Andrew akan memberi legitimasi bahwa Andrew adalah penyair. Pemberian legitimasi mulai bergeser, dari yang sebelumnya ditentukan oleh lembaga atau tokoh saat ini ditentukan oleh massa.
Apabila diibartkan sebagai arena pertempuran teks, maka digital meghadirkan ruang serta sarana baru bagi masyarakat untuk berpindah posisi dari konsumen menjadi produsen. Msyarakat yang menyadari dampak digitalisasi ini akan menjadi produsen bahan literasi bagi para peserta didik. Apabila bahan literasi yang diproduksi itu edukatif dan positif maka tidak ada masalah, tapi bagaimana jika bahan literasi yang diproduksi itu destruktif, merusak mental, dan menyebarkan kebencian? Itulah sebabnya diperlukan strategi pendidikan demi mendekonstruksi dampak dampak negatif yang ditimbulkan oleh literasi digital yang destrkutif.
Pendidikan Emansipatoris
Pendidikan emansipatoris merupakan strategi untuk menyuguhkan literasi yang bersifat emansipatoris. Peserta didik diajak bukan hanya sebagai penyimak atau penikmat tapi juga ikut merasakan dan beremansipasi. Selama ini peserta didik masih diajak untuk mengamati sampah dan mengamati penyakit. Namun, setelah proses pembelajaran selesai sampah dan penyakit masih tetap ada. Di sinilah pendidikan emansipatoris diperlukan.
Ketika peserta didik diberi bahan literasi, maka mereka juga diajak untuk menjadi bagian dari bahan lliterasi tersebut sehingga ketika mereka memposisikan diri sebagai produsen literasi maka mereka akan menyuarakan keresahaannya. Ada proses transformasi dari sekedar tahu menjadi bertindak dan memberi solusi serupa dengan demikian bahan literasi emansipatoris akan tercipta secara masif.
Contoh lainya adalah pendidik memberikan data dan fakta berupa permasalahan sosial seperti perundungan. Setelah menyaksikan dan membaca data data perihal perundungan, siswa diminta untuk membuat drama, himbauan, atau bahan literasi lain yang menunjukkan ketidakberpihakannya terhadap perundungan. Dengan demikian pendidik dan peserta didik menggunakan sumber digital sebagai data dalam pendidikan emansioatoris dan perangkat digital sebagai sarana untuk mewujudkan literasi emansipatoris.
Menghentikan peserta didik untuk tidak mengonsumsi sumber digital adalah kekeliruan besar. Menyalah-nyalahkan generasi muda terhadap habitus mereka dalam menggunakan gawai juga bukanlah hal bijak. Generasi di atas mereka yang notabene sebagai pendidik juga tak sedikit yang menggunakan jasa media sosial. Oleh sebab itu memberi solusi terhadap fenomena ini adalah cara yang dapat dilakukan. Mendorong literasi emansipatoris merupakan cara untuk berkontestasi dalam arena literasi digital. Semakin banyak literasi emansipatoris yang disuguhkan pada anak berdasarkan nilai-nilai humanisme maka semakin banyak anak yang tersentuh sekaligus teredukasi untuk berliterasi positif.
(Oleh Ardi Wina Saputra, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Kota Madiun)